Melukis Spanduk Pecel Lele Khas Lamongan

Melukis Spanduk Pecel Lele Khas Lamongan – Sebuah rumah kecil berukuran sekitar 7×3 meter di kawasan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi dipenuhi warna-warni cat dan coretan tinta di dinding. Tercium juga aroma bahan kimia yang berasal dari cat-cat yang digunakan Hartono untuk melakukan pekerjaannya, melukis spanduk pecel lele khas Lamongan. Pria berumur 49 tahun itu sudah sejak 2005 pindah ke Bekasi.

Dari rumah kecilnya inilah, ia dapat menyalurkan bakat seni lukis yang ia miliki dan menjualnya hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. “Semua wilayah di Indonesia sudah masuk, dari Aceh sampai Papua,” ujar Hartono. Sembari melukis tak lupa ia menghisap rokok, Hartono menceritakan awal mula ia menekuni bisnis pembuatan spanduk pecel lele ini. gaple online

Melukis Spanduk Pecel Lele Khas Lamongan

Pada 1992, ia datang ke Jakarta, tepatnya di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Di sana, ia membantu saudaranya yang berdagang pecel lele, hingga akhirnya tahun 1997 ia memilih untuk berjualan sendiri. Saat itulah, ia membutuhkan spanduk untuk dipasang di tenda warungnya yang ia dirikan di kawasan Sawangan, Depok. www.benchwarmerscoffee.com

Terpikir olehnya untuk meminta bantuan teman SMP di Lamongan untuk melukiskan spanduk pecel lele. Teman Hartono, Teguh Wahono, telah lebih dulu menekuni profesi sebagai pembuat spanduk pecel lele. Berharap permintaannya dipenuhi, ternyata Teguh tak mau membuatkannya. Alasannya, Teguh yakin Hartono bisa membuatnya sendiri.

Usut punya usut, rupanya Hartono dan Teguh Wahono adalah jawara melukis saat masih bersekolah di Desa Ngayung, Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Bahkan, saat SMA keduanya justru bersaing karena setelah SMP mereka berbeda sekolah. Keduanya bertemu dalam ajang Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tingkat kecamatan bahkan tingkat kabupaten se-Lamongan.

Beruntung bagi Hartono, ia berhasil merebut juara sementara Teguh berada di urutan kedua. Bakat melukis dan prestasi yang diraih Hartono inilah yang kemudian membuat Teguh enggan memenuhi permintaan Hartono untuk melukiskan spanduk pecel lele.

Walaupun hasilnya kurang memuaskan, setidaknya spanduk itu cukup untuk menjadi penutup dan penghias warung pecel lelenya. Ternyata hasil yang dianggapnya kurang itu justru dinilai berbeda oleh rekannya yang kemudian tertarik untuk meminta Hartono membuat spanduk warung makannya. Setelah itu, pesanan melukis di spanduk terus datang. Namun, Hartono tetap berjualan pecel lele. Proses melukis ia lakukan saat waktu senggang.

Hartono saat itu belum memantapkan dirinya menjadi pelukis spanduk pecel lele karena merasa belum mencapai target yang ia harapkan. Ya, Hartono memasang target 700 pesanan spanduk pecel lele untuk dapat fokus menjadi pebisnis spanduk pecel lele. 14 tahun berlalu, akhirnya target itu tercapai. Suami dari Sriningsih ini memutuskan untuk ‘gantung wajan’ dan berfokus berjualan spanduk pecel lele. Rata-rata spanduk bisa tahan satu sampai dua tahun, supaya setiap hari terus produksi, setidaknya ia harus memiliki 700 pelanggan. Ketika dapat pelanggan sebanyak itu, ia akhirnya berhenti berjualan pecel.

Faktor lain yang membuat Hartono ‘gantung wajan’ adalah bosan ‘kucing-kucingan’ dengan Satpol PP ataupun preman yang membuatnya berpindah-pindah tempat lokasi berjualan. “Kalau melukis spanduk kan bisa di mana aja, tidak ada pungli juga kan,” kata Hartono sambil tertawa. Pemilihan warna untuk spanduk pecel lele tersebut selalu ia buat dengan warna-warna yang mencolok. Biasanya warna mencolok yang digunakan tersebut seperti warna stabilo mulai dari kuning, oranye hingga hijau.

Bukan tanpa alasan, ternyata pemilihan warna tersebut memiliki maksud tersendiri. “Ya supaya bisa menjadi daya tarik pembeli yang lewat apalagi pas malam hari. Kalau kita pakai warna-warna yang tidak mencolok nanti gak kelihatan terang pas malam,” ungkapnya. Untuk membuat sebuah spanduk lukisan pecel lele khas Lamongan yang mencolok dan mampu menarik perhatian, Hartono menambahkan kain berwarna hijau “stabilo” di tepian kain putih yang telah ia lukis.

Hartono mengaku harga spanduknya sesuai dengan harga pasar, maksudnya ia tak mau membanderol spanduknya di bawah ataupun di atas harga pasar. Katanya, “Pengrajin spanduk ini jumlahnya bisa dihitung, tidak ada istilahnya kami bersaing .” Harga yang dibanderolnya sekitar Rp120 ribu hingga Rp145 ribu, bergantung dari ukuran, dan jumlah hewan yang digambarnya.

Biasanya, lanjutnya, satu warung memesan spanduk sepanjang 10 meter, yang terdiri dari lima meter untuk bagian depan dan 2,5 meter masing-masing untuk sisi kanan dan kiri warung. Harga paling mahal biasanya ada pada spanduk warung makanan khas Lamongan yang menyediakan beragam masakan laut. “Karena hewannya yang digambar kan lebih banyak, jadi lebih mahal,” kata Hartono.

Kurang lebih ia memerlukan modal Rp30 ribu untuk membeli kain katun tetoron, cat sablon dan penguat cat yang disebut binder. Dengan begitu ia meraup untung sekitar Rp90 ribu per meter. Hartono pun per bulannya bisa mendapat pesanan spanduk sepanjang 280 meter dan mengantongi hingga Rp25 juta per bulan.

Seiring pengalaman dan ilmu-ilmu yang terus dipelajari Hartono, ia memproduksi spanduknya dengan dua langkah yaitu, teknik sablon untuk mencetak huruf dan lukis untuk gambar binatang. Ia mengaku membutuhkan orang lain untuk melukis, namun sampai saat ini tak ada yang mau dan bisa melukis gambar seperti apa yang dilakoni si Hartono ini. Bahkan, dua putrinya tak ada yang memiliki bakat melukis seperti Hartono. “Ya memang harus ada yang bantu melukis, tapi ya pertanyaannya bisa enggak yang bantuin ini melukis seperti ini,” tambahnya.

Menurut Hartono, dunia seni itu intinya jangan merasa takut salah, apalagi jika belum mencobanya. Imajinasi memang diperlukan dalam dunia seni, namun kalau tak berani divisualisasikan akan percuma. “Belajar seni mengalir saja, sama seperti bernyanyi, kalau sudah ada bakat ya tinggal dikembangkan saja,” katanya.

Hartono pun harus menggunakan teknologi sebagai cara mempromosikan jasanya. Ia mengaku secara otodidak belajar membuat blog dan apa saja yang perlu ia tampilkan di blog. Cara ini pun berhasil membuat namanya semakin dikenal hingga luar Jawa.

Melukis Spanduk Pecel Lele Khas Lamongan

Menjaga komunikasi dengan pelanggan juga dilakukan oleh Hartono, baik selama pesanan diproses sampai setelah barang diterima. Hartono selalu memberi masukan-masukan kepada pemesannya, mulai dari warna spanduk, ukuran bahkan cara memasang dengan benar. Hartono bahkan pernah memberikan saran kepada pemesannya agar warung makannya laris.

Saat itu Hartono meminta pemesannya menambah jumlah ayam atau lele dan memberikan resep sambal yang bisa membuat para pelanggan ingin kembali lagi ke warung tersebut. Hartono berharap ada generasi yang bisa menjadi penerus untuk pembuat spanduk pecel lele ini. Pasalnya, spanduk merupakan salah satu kunci pemikat orang untuk datang ke warung pecel lele.

Spanduk adalah identitas dari setiap warung pecel lele khas Lamongan. Hartono menyebut saat orang Lamongan merantau dan memilih berjualan pecel, dia ingin menggunakan spanduk yang sama seperti di kampungnya. Seperti Hartono sendiri saat ia mengawali karirnya.

Selain daya tarik, spanduk juga menjadi penanda profesionalitas si pemilik warung, kata Hartono. “Kami buat spanduk itu betul-betul supaya orang mau masuk ke dalam warung. Tapi kalau misalnya orang itu buka warung spanduknya tak menggunakan ciri khas lamongan pasti orang berpikir ia hanya usaha main-main, jadi belum profesional katanya,” papar Hartono. “Padahal ada pemain baru tapi dia pakai spanduk seperti ini ya orang jadi berpikir pasti dia sudah profesional dalam berjualan pecel lele,” tambahnya.

Read Full Article